Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua.
Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku
Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek,
cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai
selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di
antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.
Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal
diantara sekian banyak suku yang ada di Papua, Irian Jaya, Indonesia.
Salah satu hal yang membuat suku asmat cukup dikenal adalah hasil ukiran
kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa ornamen / motif yang
seringkali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan
patung yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema
nenek moyang dari suku mereka, yang biasa disebut mbis. Namun tak
berhenti sampai disitu, seringkali juga ditemui ornamen / motif lain
yang menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol
perahu arwah yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi
penduduk asli suku asmat, seni ukir kayu lebih merupakan sebuah
perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual untuk mengenang arwah
para leluhurnya.
Suku Asmat adalah suku yang menganut Animisme, sampai dengan masuknya
para Misionaris pembawa ajaran baru, maka mereka mulai mengenal agama
lain selain agam nenek-moyang. Dan kini, masyarakat suku ini telah
menganut berbagai macam agama, seperti Protestan, Khatolik bahkan Islam.
Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses kehidupannya,
masyarakat Suku Asmat pun, melalui berbagai proses, yaitu :
- Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung alau ibu mertua.
- Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.
- Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.
- Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum, jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.
Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang
berasal dari dunia mistik atau gaib yang lokasinya berada di mana
mentari tenggelam setiap sore hari. Mereka yakin bila nenek moyangnya
pada jaman dulu melakukan pendaratan di bumi di daerah pegunungan.
Selain itu orang suku Asmat juga percaya bila di wilayahnya terdapat
tiga macam roh yang masing-masing mempunyai sifat baik, jahat dan yang
jahat namun mati. Berdasarkan mitologi masyarakat Asmat berdiam di Teluk
Flamingo, dewa itu bernama Fumuripitis. Orang Asmat yakin bahwa di
lingkungan tempat tinggal manusia juga diam berbagai macam roh yang
mereka bagi dalam 3 golongan.
- Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi keturunannya.
- Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis tertentu.
- Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol.
Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara
besar menyangkut seluruh komuniti desa yang selalu berkaitan dengan
penghormatan roh nenek moyang seperti berikut ini :
- Mbismbu (pembuat tiang)
- Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
- Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
- Yamasy pokumbu (upacara perisai)
- Mbipokumbu (Upacara Topeng)
Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah
meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit,
bencana, bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta
menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar
pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta
perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.
- Roh setan
Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam
sekitarnya. Mereka memiliki kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh
roh-roh, jin-jin, makhluk-makhluk halus, yang semuanya disebut dengan
setan. Setan ini digolongkan ke dalam 2 kategori :
1. Setan yang membahayakan hidup Setan yang membahayakan hidup ini
dipercaya oleh orang Asmat sebagai setan yang dapat mengancam nyawa dan
jiwa seseorang. Seperti setan perempuan hamil yang telah meninggal atau
setan yang hidup di pohon beringin, roh yang membawa penyakit dan
bencana (Osbopan).
2. Setan yang tidak membahayakan hidup Setan dalam kategori ini
dianggap oleh masyarakat Asmat sebagai setan yang tidak membahayakan
nyawa dan jiwa seseorang, hanya saja suka menakut-nakuti dan mengganggu
saja. Selain itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya baik
terutama bagi keturunannya., yaitu berasal dari roh nenek moyang yang
disebut sebagai yi-ow
- Kekuatan magis dan Ilmu sihir
Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang
kebanyakan adalah dalam bentuk tabu. Banyak hal -hal yang pantang
dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal
pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan pemburuan
binatang.
Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang
hilang, barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut.
Ada juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan
mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan.
Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan
dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang
ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menururt keyakinan orang
Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang
jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di
tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak
petualangan. Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo
misalnya, dewa itu namanya Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu
sungau ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu
lesung yang ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang
terjadi, ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia
terbawa arus yang mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru
sekarang. Untung ada seekor burung Flamingo yang merawatnya sampai ia
sembuh kembali; kemudian ia membangun rumah yew dan mengukir dua patug
yang sangat indah serta membuat sebuah genderang em, yang sangat kuat
bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti,
dan kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada
kedua patung yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patung-patung
itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia
yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat
Ritual/ Upacara suku Asmat yaitu
- Ritual Kematian
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah
meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang
tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena
suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian
mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena
mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh.
Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat
mendalam bagi masyarakat Asmat.
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang
terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat,
baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka
mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh
leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam
ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir
figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi
kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur
dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka,
sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga
yang lain di desa tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul
mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan
menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan
kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya
karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang
dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan,
dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa
si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang
ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah
mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di
sekitar rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk
(kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya
roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian. Orang-orang
Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari sampai
berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis
rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski
nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan
topi agar tidak menarik bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para
(anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan
sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas
pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai
bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya
bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap
berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam
bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yangtingginya 5-8 meter. Cara lain
yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan
perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai
dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir
roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah
mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal.
Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan
jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga
tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan,
di pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu
dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.
- Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu
baru.Dalam proses pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang
perlu diperhatikan. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya
dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut ke
pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali
penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus
diperhatikan saat mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat
banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya
bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang
itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada
kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan
selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus
yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat.
Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan
lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian
luar berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang
berbentuk keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan
binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum
dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik
perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang
yang paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil
mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke
rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu.
Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna putih dan merah
disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita bersorak-sorai
memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun, ada juga yang
menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu
penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu
ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas -manasi mereka dan
memancing suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan perahu
lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.
- Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan
suku Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis)
apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini
diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh,
dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga
dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal
diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di
dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung,
kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Dalam masa-masa
pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut
dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan
persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti
peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara
perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat
dan pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang
dibencinya atau pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini, karena
peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru
dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil
pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini
disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang belum diantar
ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai
Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah
meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling
utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan
hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu
panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang
ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan
dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat
ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang
ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung
bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.
- Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan
rumah bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi
orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga
(keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius
maupun yang bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana,
namun apabila ada suatu penyerangan yang akan direncanakan atau
upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk.
Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru,
yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga
diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan
penabuhan tifa.
0 komentar:
Posting Komentar