Indonesia Flag Orb Suku Banjar ~ Indahnya Negeriku,INDONESIA

Sabtu, 22 Desember 2012

Suku Banjar

Suku bangsa Banjar (bahasa Banjar: Urang Banjar / اورڠ بنجر) atau Oloh Masih adalah suku bangsa atau etnoreligius Muslim yang menempati sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, dan sejak abad ke-17 mulai menempati sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur terutama kawasan dataran rendah dan bagian hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah tersebut. Suku Banjar terkadang juga disebut Melayu Banjar, tetapi penamaan tersebut jarang digunakan.
Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yang merupakan pembauran masyarakat DAS Bahau (koreksi: DAS Bahan/DAS Negara), Das Barito, DAS Martapura dan DAS Tabanio. Sungai Barito bagian hilir merupakan pusatnya suku Banjar. Kemunculan suku Banjar bukan hanya sebagai konsep etnis tetapi juga konsep politis, sosiologis, dan agamis. Secara liguistik, bahasa yang digunakan suku Banjar merupakan perpaduan rumpun bahasa Melayik dan Barito Raya.
Sejak abad ke-19, suku Banjar mulai bermigrasi ke banyak tempat di Kepulauan Melayu dan mendirikan kantong-kantong pemukiman di sana.
Secara liguistik suku Banjar serumpun dengan Dayak Kendayan (logat Dayak: Kanayatn), Dayak Iban, dan rumpun Melayu Lokal (termasuk Dayak Meratus) yaitu rumpun bahasa Melayik. Mitologi suku Dayak Meratus (Dayak Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar (terutama Banjar Pahuluan) dan Suku Bukit merupakan keturunan dari dua kakak beradik yaitu Si Ayuh (Sandayuhan) yang menurunkan suku Bukit dan Bambang Basiwara yang menurunkan suku Banjar. Dalam khasanah cerita prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus ditemukan legenda yang sifatnya mengakui atau bahkan melegalkan keserumpunan genetika (saling berkerabat secara geneologis) antara orang Banjar dengan orang Dayak Meratus. Dalam cerita prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus dimaksud terungkap bahwa nenek moyang orang Banjar yang bernama Bambang Basiwara adalah adik dari nenek moyang orang Dayak Meratus yang bernama Sandayuhan. Bambang Basiwara digambarkan sebagai adik yang berfisik lemah tapi berotak cerdas. Sedangkan Sandayuhan digambarkan sebagai kakak yang berfisik kuat dan jago berkelahi. Sesuai dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau cikal-bakal orang Dayak Maratus, maka nama Sandayuhan sangat populer di kalangan orang Dayak Meratus. Banyak sekali tempat-tempat di seantero pegunungan Meratus yang sejarah keberadaannya diceritakan berasal-usul dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu di antaranya adalah tebing batu berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan dari Samali’ing, setan berkepala tujuh yang berhasil dikalahkannya dalam suatu kontak fisik yang sangat menentukan. Orang Banjar merupakan keturunan Dayak yang telah memeluk Islam kemudian mengadopsi budaya Jawa, Melayu, Bugis dan Cina.
Menurut Denys Lombard, pada jaman kuna sebagian besar penduduk Kalimantan Selatan (terutama daerah Batang Banyu) merupakan keturunan pendatang dari Jawa. Pendapat lain menyatakan, suku Banjar jejak akarnya dari Sumatera lebih dari 1500 tahun yang lampau. Djoko Pramono menyatakan bahwa suku Banjar berasal dari suku Orang Laut yang menetap di Kalimantan Selatan.
Suku bangsa Banjar diduga berasal mula dari penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di kawasan Tanah Banjar (sekarang wilayah provinsi Kalimantan Selatan) sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya,–setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan–terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala).
Banjar Pahuluan pada asasnya adalalah penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus. Banjar Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar Kuala mendiami sekitar Banjarmasin dan Martapura. Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya adalah bahasa Melayu Sumatera atau sekitarnya, yang di dalamnya terdapat banyak kosa kata asal Dayak dan Jawa. Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu (sebelum kesultanan Banjar dihapuskan pada tahun 1860) adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman (terakhir di Martapura), nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.
Sejak abad ke-19, suku Banjar migrasi ke pantai timur Sumatera dan Malaysia, tetapi di Malaysia Barat, suku Banjar digolongkan ke dalam suku Melayu, hanya di Tawau (Sabah, Malaysia Timur) yang masih menyebut diriya suku Banjar. Di Singapura, suku Banjar sudah luluh ke dalam suku Melayu. Sensus tahun 1930, menunjukkan banyaknya suku Banjar di luar Kalsel, tetapi sensus tahun 2000 terlihat jumlahnya mengalami penurunan.
Kesultanan Banjar sebelumnya meliputi wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah seperti saat ini, kemudian pada abad ke-16 terpecah di sebelah barat menjadi kerajaan Kotawaringin yang dipimpin Pangeran Dipati Anta Kasuma bin Sultan Mustain Billah dan pada abad ke-17 di sebelah timur menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah yang berkembang menjadi beberapa daerah: Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau Laoet, Batoe Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal. Wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer, selanjutnya dengan budaya maadam, orang Banjar merantau hingga ke luar pulau misalnya ke Kepulauan Sulu bahkan menjadi salah satu dari lima etnis yang pembentuk Suku Suluk (percampuran orang Buranun/Dayak Buranun, orang Tagimaha, orang Baklaya, orang Dampuan/Champa dan orang Banjar). Hubungan antara Banjar dengan Kepulauan Sulu/Banjar Kulan terjalin ketika seorang Puteri dari Raja Banjar menikah dengan penguasa suku Buranun. Salah satu rombongan suku Suluk yang menghindari kolonial Spanyol dan mengungsi ke Kesultanan Banjar adalah moyang dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Secara sosio-historis masyarakat Banjar adalah kelompok sosial heterogen yang terkonfigurasi dari berbagai sukubangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama, sehingga kemudian membentuk identitas etnis (suku) Banjar. Artinya, kelompok sosial heterogen itu memang terbentuk melalui proses yang tidak sepenuhnya alami (priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang cukup kompleks. 
Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak yang ada di sekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai "babarasih" (membersihkan diri) di samping menjadi orang Banjar.
Masyarakat Banjar bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tapi ia merupakan konstruksi historis secara sosial suatu kelompok manusia yang menginginkan suatu komunitas tersendiri dari komunitas yang ada di kepulauan Kalimantan. Etnik Banjar merupakan bentuk pertemuan berbagai kelompok etnik yang memiliki asal usul beragam yang dihasilkan dari sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah ini dengan titik berangkat pada proses Islamisasi yang dilakukan oleh Demak sebagai syarat berdirinya Kesultanan Banjar. Banjar sebelum berdirinya Kesultanan Islam Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah ksesatuan identitas suku atau agama, namun lebih tepat merupakan identitas yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal.
Suku Banjar yang semula terbentuk sebagai entitas politik terbagi 3 grup (kelompok besar) berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan persfektif kultural dan genetis yang menggambarkan percampuran penduduk pendatang dengan penduduk asli Dayak:
  1. Grup Banjar Pahuluan adalah campuran orang Melayu-Hindu dan orang Dayak Meratus yang berbahasa Melayik (unsur Dayak Meratus/Bukit sebagai ciri kelompok)
  2. Grup Banjar Batang Banyu adalah campuran orang Pahuluan, orang Melayu-Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang Dayak Maanyan, orang Dayak Lawangan, orang Dayak Bukit dan orang Jawa-Hindu Majapahit (unsur Dayak Maanyan sebagai ciri kelompok)
  3. Grup Banjar Kuala adalah campuran orang Kuin, orang Batang Banyu, orang Dayak Ngaju (Berangas, Bakumpai), orang Kampung Melayu, orang Kampung Bugis-Makassar, orang Kampung Jawa, orang Kampung Arab, dan sebagian orang Cina Parit yang masuk Islam (unsur Dayak Ngaju sebagai ciri kelompok). Proses amalgamasi masih berjalan hingga sekarang di dalam grup Banjar Kuala yang tinggal di kawasan Banjar Kuala - kawasan yang dalam perkembangannya menuju sebuah kota metropolitan yang menyatu (Banjar Bakula).
Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku Banjar, maka percampuran suku Banjar dengan suku Dayak Ngaju/suku serumpunnya (Kelompok Barito Barat) yang berada di sebelah barat Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Kuala juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran suku Banjar dengan suku Maanyan/suku serumpunnya (Kelompok Barito Timur) seperti Dusun, Lawangan dan suku Pasir di Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.
Berdasarkan sensus 1930, suku Banjar di Kalimantan Selatan terdapat di Kota Banjarmasin (89,19%), Afdeeling Banjarmasin tidak termasuk Kota Banjarmasin (94,05%), Afdeeling Hulu Sungai (93,75%), kota Kotabaru (69,45%), Pulau Laut tidak termasuk kota Kotabaru (48,96%), seluruh Tanah Bumbu (56,74%).

Keterampilan Mengolah Lahan Pasang Surut

Salah satu keahlian orang Banjar adalah mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan budi daya pertanian dan permukiman. Kota Banjarmasin didirikan di atas lahan pasang surut.

Rumah Banjar

Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Dari sekian banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku Banjar.

Tradisi lisan

Tradisi lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah (ﻤﺪﺡ) yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya menggunakan bahasa Tionghoa. Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.

Teater

Satu-satunya seni teater tradisional yang berkembang di pulau Kalimantan adalah Mamanda. Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup.
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).
Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.

Musik

Salah satu kesenian berupa musik tradisional khas Suku Banjar adalah Musik Panting. Musik ini disebut Panting karena didominasi oleh alat musik yang dinamakan panting, sejenis gambus yang memakai senar (panting) maka disebut musik panting. Pada awalnya musik panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting akan lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada musik panting yang terkenal alat musik nya dan yang sangat berperan adalah panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang yang pertama kali memberi nama sebagai musik panting adalah A. SARBAINI. Dan sampai sekarang ini musik panting terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.
Selain itu, ada sebuah kesenian musik tradisional Suku Banjar, yakni Musik Kentung. Musik ini berasal dari daerah Kabupaten Banjar yaitu di desa Sungai Alat, Astambul dan kampung Bincau, Martapura. Pada masa sekarang, musik kentung ini sudah mulai langka. Masa dahulu alat musik ini dipertandingkan. Dalam pertandingan ini bukan saja pada bunyinya, tetapi juga hal-hal yang bersifat magis, seperti kalau dalam pertandingan itu alat musik ini bisa pecah atau tidak dapat berbunyi dari kepunyaan lawan bertanding.

Tarian

Seni Tari Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama "Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan.

Kuliner

Masakan tradisional Banjar diantaranya: sate Banjar, soto Banjar, kue bingka dan lain-lain.

Senjata Tradisional

Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan orang yang pernah memakainya, senjata tradisional suku banjar yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari antara lain :
  • 1. Serapang
Serapang adalah tombak bermata lima mata dimana empat mata mekar seperti cakar elang dengan bait pengait di tiap ujungnya. Satu mata lagi berada di tengah tanpa bait, yang disebut “besi lapar” yang di percaya dapat merobohkan orang yang memiliki ilmu kebal sekuat apappun.
  • 2. Tiruk
Tiruk adalah tombak panjang lurus tanpa bait digunakan untuk berburu ikan haruan (ikan gabus) dan toman di sungai.
  • 3. Pangambangan
Pangambangan adalah tombak lurus bermata satu dengan bait di kedua sisinya.
  • 4. Duha
Duha adalah pisau bermata dua yang sering digunakan untuk berburu babi.

0 komentar:

Posting Komentar